Landing: Japan, Pengalaman Bagasi Rusak di Narita International Airport, Mengirim Koper di Jepang, dan Menukar Japan Rail (JR) Pass. – 22 November 2022

Tidur malam di pesawat tidak terlalu nyenyak, sering terbangun ada tangisan bayi. Setelah entah beberapa jam seperti itu, terdengan suara lembut flight attendant yang mengumumkan akan segera menyajikan sarapan. Dari balik jendela pesawat, terlihat matahari terbit di cakrawala. Ohayou Gozaimasu! Melihat jam di handphone (pukul 6 pagi) sekalian mengabadikan momen, foto matahari terbit di negara matahari terbit. Hey, berima!

Sambil menunggu pesawat mendarat, saya membuat video pendek tentang fasilitas apa yang didapat dari kursi ekonomi Boeing-787. Seperti biasa lampu baca, tombol untuk memanggil flight attendant dan membatalkannya, kemudian ada juga USB-port dan headphone jack, meja lipat, dan yang menarik: ada cermin. Ini jarang saya lihat, atau baru saya perhatikan ya. Selain itu, ada colokan juga untuk mengisi daya gawai selama di perjalanan panjang.

Sekitar pukul 07:40 waktu Jepang, kami pun mendarat di Narita Terminal 1. Keluar dari pesawat, seperti yang sudah kami persiapkan sebelumnya, dokumen yang menunjukkan warna biru di Visit Japan Web. Kecuali dokumen Emma masih berwarna kuning, karena belum divaksin. Banyak petugas yang menyambut kami, bagi yang belum mengisi Visit Japan Web akan diarahkan untuk mengisi via web tersebut (lengkap dengan informasi akses Wi-Fi Narita Airport).

Kami yang sudah mengisi dokumen (saya pamerin hasil print out berwarna biru), langsung ditanya berapa orang. Diberikan kalung untuk 3 orang, lalu diberikan akses prioritas karena membawa anak. Diantar sampai ke pintu lift, pencet turun, diinformasikan untuk mengikuti jalur yang ada. Kami mengangguk “haik, haik”, kemudian petugas tersebut balik untuk menjemput penumpang lain. Pintu lift terbuka, ternyata sudah ada petugas lain yang menjemput kami.

Seperti bola yang dioper, tidak dibiarkan berkeliaran ke mana-mana. Petugas kali ini mengantarkan kami ke tempat duduk antrian untuk pengecekan dokumen, sekalian juga pengecekan suhu tubuh. Aman, suhu tubuh tidak naik drastis dari rasa gugup. Suhu di bandara juga sejuk nyaman, cocok hangat menggunakan jaket. QR Code kami pun dipindai, tanda proses karantina berakhir. Hore, prosedur khusus COVID-19 sudah terlewati.

Berikutnya tinggal imigrasi dan bea cukai, seharusnya prosedur biasa ya. Mengantri di imigrasi, terdengar lagi suara tangisan bayi yang familiar. Bayi yang membuatku susah tidur malam di pesawat, akhirnya bisa melihat secara langsung. Berada di gendongan, mengenakan jaket tebal motif beruang coklat. Di ruangan imigrasi yang biasanya tenang, terdengar celetukan “bayinya kepanasan kali”. Oma yang mungkin jengkel dan malu, membuka gendongan dan jaket si bayi. Lo and behold, the baby stop crying.

Di depan kami ada penumpang dari Surabaya, sepertinya bermasalah dengan dokumen imigrasi. Petugas bersangkutan pun membawa mereka ke samping, tidak lupa beliau mengunci pintu ‘posnya’ (loket?). Yah, semakin dikit petugasnya. Tapi tidak apa, kami dapat petugas cantik. Scan QR, cek paspor, buka masker untuk mencocokkan muka dengan foto, gendong Emma, petugasnya ketawa “it’s okay, it’s okay”, muka bayi ke balita beda jauh ternyata.

Proses dari karantina dan imigrasi lumayan cepat, sekitar 1 jam saja. Mungkin jika belum mengisi Visit Japan Web akan lebih lama, sekitar 2 jam. Kerja petugasnya “sat set sat set”, cepat. Sekarang kami menuju ke baggage carousel. Wah, sudah kosong. Koper kami sudah tertata rapi, menunggu dijemput pemiliknya. Koper besar dan kecil sudah ada, tinggal koper yang sedang. Jangan-jangan, ketinggalan di Singapore?

Untungnya, tidak. Koper biru berukuran sedang ada di tempat terpisah, karena pecah. Kebingungan, datanglah seorang petugas juga cantik berlari-lari kecil dengan sepatu heels pendeknya. “Is this your luggage?“, tanya petugas bermarga Togami. Tentu saja kami jawab “Yes“. “Ah, please proceed to customs. I’ll meet you at the exit“, katanya sambil mengarahkan kami ke bea cukai. Proses bea cukai cepat, petugas hanya memindai kode QR. Di pintu keluar bea cukai, terlihat Togami-san berdiri sambil memegang selembar kertas. Kami disodorkan formulir “Damaged Baggage Report” , kemudian dipandu hanya perlu mengisi bagian nama dan alamat.

Togami nee-san kemudian mengisi bagian kolom “Brand: American Tourister”, lalu dia bertanya “When did you buy the suitcase?”. Sepertinya waktu bulan madu sudah menggunakan koper ini, “5~6 years ago”. “How much is the price?“, tanyanya. “Around 5 millions“, jawab kami. “5 millions dollar?!”, dia kaget. “Amen! Eh no no, 5 millions rupiah“, jawab kami kaget juga. Meskipun mengenakan masker, tersirat ekspresinya sedikit lega. Bengong 1-2 detik, Togami-san berkedip dan melanjutkan proses pengisian formulir.

Do you have insurance?”, tanyanya. “Yes”, jawab kami mengingat sudah membeli Allianz Travel Pro. “We will offer you a new bag“, katanya memberi solusi. “Thank you”, jawab kami sambil menunggu dia mengambil koper pengganti. Togami-san datang membawa koper berwarna perak, “It’s not the same brand, but same size”. Kami perhatikan, kopernya tidak ada tulisan nama merk apa. “It’s okay, arigatou gozaimasu!”, balas kami sopan meski sedih tidak diganti koper seharga 5juta dollar.

Again, we’re very sorry about your bag. Hope you enjoy your trip in Japan“, dia membungkuk sembari kami jalan pergi mencari tempat sepi untuk memindahkan isi koper. Untung pakaian kami sudah di-pompa vakum, jadi lebih praktis memindahkannya hanya beberapa plastik vakum saja. Selesai memindahkan isi koper, kami bertanya ke pusat informasi di mana letak jasa pengiriman koper.

Untuk pengiriman 2 koper sedang ke Mercure Tokyo Ginza, total yang dibayar adalah 4,500 yen. Petugasnya melihat koper yang rusak, dan memberikan kami kertas pertujuan bahwa memang koper sudah rusak sebelum dikirimkan. Dia memastikan isinya kosong, kemudian menambal dengan lakban. Di sini saya menguping obrolan sepasang yang bisa berbahasa Indonesia dan Jepang, sang wanita meminta (membeli) kardus dari petugas Yamato.

Petugas mengisi formulir, bertanya mengenai isi koper. “Nimotsu wa?”, melihat saya kebingungan dia langsung menambahkan, “Clothes?”. Ah yes, clothes” jawab saya. Kedua informasi tersebut nantinya akan berguna di perjalanan kali ini: kardus dan ‘nimotsu‘ yang inti pertanyaannya adalah “isi koper apa?”. Kebetulan isi koper kami pastinya adalah pakaian, menghindari barang berharga, dan belum ada makanan atau suvenir.

Selesai urusan perbagasian, selanjutnya menukarkan voucher JR Pass dengan…JR Pass itu sendiri. Membingungkan ya. Turun lift, kami melihat ada antrian di sebelah kanan dekat pintu masuk stasiun. Ada tulisannya juga “JR” semacam itu berwarna hijau, sepertinya benar antri di sini. Sudah dekat meja petugas, baru baca ada pengumuman: “to exchange JR Pass, this way”. Ada logo U-turn (putar balik)

Baiklah mari kita balik badan, terlihat ada semacam ruangan dengan pintu kaca. Saya masuk dan menyerahkan voucher JR Pass dan paspor kami bertiga sebagi bukti identitas diri. Ternyata kali ini JR Pass itu tidak berbentuk buku lagi seperti 6 tahun silam, melainkan berbentuk karcis tiket dengan ada kode QR dan 4-digit terakhir nomor paspor. Petugasnya mengingatkan agar menjaga dengan baik JR Pass (Kode QR) ini, jangan sampai hilang.

Kemudian dijelaskan, sekarang ada mesin untuk kita reservasi kursi. Jadi memudahkan penumpang juga untuk melakukan reservasi tempat duduk tanpa perlu ke loket untuk bertemu dengan petugas, cukup dari mesin tersebut masukkan nomor paspor. Tapi, jika kesulitan, tentu saja bisa mencari petugas terdekat. Untuk perjalanan kami ke Nagoya, langsung dilakukan reservasi kursi oleh petugas.

Kesimpulannya, dulu: JR Pass berbentuk buku yang harus kita tunjukkan ke petugas stasiun. Nantinya kita akan dibukakan pintu oleh petugas, tidak otomatis. Untuk reservasi kursi, harus mendatangi loket petugas. Sekarang: JR Pass berbentuk tiket karcis yang bisa langsung kita masukkan ke automatic gate, reservasi kursi pun bisa melalui mesin. Ternyata, tiket anak ada bunyi seperti kicauan burung ketika dimasukkan ke gate. Interesting!

Shinkansen berangkat dari Tokyo Station atau Shinagawa Station, awalnya kami ingin mencoba Airport Bus ke Tokyo Station. Tapi setelah mencari informasi, ternyata Narita Express sudah termasuk dalam JR Pass. Jadi kami memilih naik Narita Express ke Shinagawa Station. Tempat duduk di Narita Express pun ternyata lumayan lega, bahkan muat stroller atau koper sedang di jarak kaki kita dengan kursi penumpang di depan.

Sampai di Shinagawa Station, karena sudah mepet dengan waktu keberangkatan, jadinya kami membeli Ekiben untuk dimakan di Shinkansen. Selesai makan, minum, kami melanjutkan istirahat di kereta yang melaju menuju Nagoya. Perjalanan hampir 2jam, lumayan untuk tidur. Apalagi semalam kurang tidur di pesawat. Ternyata bisa juga menginjakkan lagi kaki di negeri favorit -setelah tertunda 2tahun lebih- dengan orang-orang favorit. 🙂

Feel free to comment