“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Rumah Kaca, h. 352)” -Pramoedya Ananta Toer

Bagaimana ceritanya sehingga kami bisa mengikuti perjalanan wisata sejarah ini?
Sabtu, 27 September 2014 kami berkesempatan mengikuti 1 Day Trip 3 Islands atau Trip 3 Pulau. Kesempatan ini diberikan kepada 10 pemenang undian yang beruntung oleh Travelicious, dan saya adalah salah satu pemenangnya. Pengumuman disebarkan melalui email, dan ternyata ada salah satu pemenang yang berhalangan. Secara personal melalui email juga saya meminta kepada peserta tersebut untuk memberikan hadiah tersebut kepada agnes, maka jadilah kami berdua pun bisa mengikuti tur gratis ini.
Meeting point kami adalah di Kapuk Muara Kamal, dari hasil googling saya menemukan beberapa cara untuk mencapai tempat tersebut. Salah satunya adalah dengan TransJakarta dan turun di halte busway Rawa Buaya, dari situ nanti bisa naik mobil Suzuki Carry yang dijadikan angkutan umum. Biayanya 7.000 (tujuh ribu) rupiah, dan angkot ber-plat hitam itu akan mengantar kita sampai ke pasar ikan atau disebut juga Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Nah, dari pasar ikan kita harus jalan kaki sampai ke dermaga. Di tempat tunggu dermaganya ada kantin dan WC umum, banyak juga yang duduk di sini menunggu giliran keberangkatan mereka.
Setelah registrasi, sekitar pukul 9 lewat kami pun berangkat. Ternyata kelompok kami digabung dengan kelompok dari tur lain, sehingga berjumlah kurang lebih 40 orang. Karena jumlah yang cukup banyak, kapal yang kami gunakan pun lebih besar dibanding kapal lain yang hanya menampung kapasitas +/- 20 orang. Perjalanan dengan kapal ditempuh selama 30 menitan, dan kami sampai ke destinasi pertama: Pulau Kelor.

Di Pulau Kelor ini yang menjadi ciri khasnya adalah benteng peninggalan ketika zaman penjajahan Belanda dulu, otomatis benteng itu kini menjadi spot menarik untuk difoto dan berfoto. Pengunjung di sini cukup ramai juga, sehingga untuk berfoto harus sedikit antri. Bentengnya sendiri tidak terlalu besar, paling hanya membutuhkan waktu sekitar 10-15menit untuk berkeliling, memanjat, dan mengitari benteng ini.
Bisa dibilang pulau ini gersang, sedikit pohon sehingga terasa panas. WC umum pun ternyata menggunakan air bersih dari Pulau Cipir, berarti memang pulau ini tidak dihuni. Untungnya, selain benteng masih ada hal menarik lainnya. Air pantai di sini bening, sehingga kita masih bisa melihat ikan-ikan kecil yang berenang riang di pinggiran pantai. Bisa menjadi object foto-foto yang bagus juga, karena masih terlihat pasir putih dan batu-batu karangnya.
Sekitar 1 jam kami habiskan mengelilingi pulau ini dan melanjutkan perjalanan ke pulau kedua: Pulau Onrust. Sesampainya di pulau kedua ini, kami diminta mengikuti tour guide yang akan menjelaskan sejarah pulau tersebut. Ternyata ada museum juga di sini, yang tidak terlalu saya perhatikan karena mengikuti langkah tour guide yang lumayan cepat.

1. Pada tahun 1615 Belanda membangun dermaga dan galangan kapal untuk memperbaiki kapal-kapal VOC.
2. Pada tahun 1658 dibangun sebuah benteng kecil yang kemudian tahun 1671 diperluas menjadi benteng segilima selanjutnya tahun 1671 dibangun gudang dok dan kincir angin.
3. Antara tahun 1800-1810 diserang dan dihancurkan armada Inggris namun Belanda membangunnya kembali.
4. Pada tahun 1911 peranannya beralih menjadi tempat karantina haji.
5. Pada tahun 1972 berdasarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No. CB. 11/2/16/75 ditetapkan sebagai suaka purbakala
“Pulau ini dulu pernah terkena tsunami…”, kata tour guide-nya, yang lagi-lagi tidak saya perhatikan karena saya terpisah dengan agnes. Ternyata agnes masih di museum melihat-lihat benda bersejarah di sana, setelah beberapa menit di museum kami pun kembali bergabung dengan kelompok mengikuti tour leader.

Lanjut kelompok kami dibawa mengitari pulau, melihat sumur yang dulunya digunakan untuk menampung air bersih, kolam kecil yang dipakai untuk mengadu tahanan, sampai ke pemakaman. “Kenapa pulau ini namanya Onrust?”, tanya seorang peserta. “Onrust berasal dari Bahasa Belanda, yang artinya Tanpa Istirahat, menggambarkan aktivitas di pulau ini dulunya sangat sibuk”, jawab tour guide mantap.

Usai mengelilingi pulau, kami diberikan makan siang nasi kotak isi ayam goreng dengan minum air mineral botol. Acara bebas karena pukul 12 siang peserta juga dipersilakan sholat, kami makan siang di warung dan memesan es kelapa juga untuk melengkapi suasana. Istirahat sampai sekitar jam 1 siang, dan kami melanjutkan perjalanan ke pulau ketiga: Pulau Cipir.

Pulau Cipir berdekatan dengan Pulau Onrust, bahkan dulunya ada jembatan yang menyambungkan kedua pulau ini. Namun kini jembatan tersebut telah hancur akibat permukaan air laut yang terus meninggi, Pulau Cipir dan Pulau Onrust juga sering dibilang sebagai pulau kembar. Di Pulau Cipir juga terdapat warung untuk membeli cemilan dan minuman, pohon-pohon yang rindang sehingga terasa jauh lebih sejuk dibanding Pulau Kelor.
Pulau Cipir ini dulunya terdapat bangunan rumah sakit, yang kini tinggal puing-puingnya. Pantai di sini lumayan landai, sehingga beberapa peserta langsung memanfaatkan kesempatan untuk bermain-main dan berenang. Terdapat juga beberapa peninggalan meriam di sini, dan ada pondok-pondok untuk beristirahat.



Hari sudah mulai sore sekitar pukul setengah empat, menandakan akhir dari wisata kami hari itu. Kalau ingin menambah/mengoreksi informasi, silahkan comment. Atau share juga siapa tau pengalaman kami dapat membantu teman dan kenalan yang ingin mengetahui tentang ketiga pulau tersebut, terima kasih telah membaca dan semoga berguna.

Pada tahun 1668 dibangun sebuah dermaga dan sebuah galangan kapal
Pada tahun 1679 dibangun sebuah rumah sakit
Pada tahun 1972 berdasarkan SK. Gubernur KDKI Jakarta No. CB. 11/2/16/72 ditetapkan sebagai suaka purbakala




